pintunya nggak dikunci. dengan mudah gue membukanya dan mendapati cewek itu sedang duduk memeluk lutut di sudut kamar yg gelap dan pengap. gue meraba-raba dinding mencari saklar lampu.
"jangan nyalain lampu," kata Meva tanpa menoleh ke gue. isaknya terdengar lirih di ruang kosong ini.
"kenapa?" sahut gue. telunjuk gue tertahan di saklar.
Meva menggeleng. wajahnya masih terbenam di lututnya.
"ada yg mau lo ceritain? seenggaknya sedikit bercerita dengan orang lain adalah lebih baik daripada dipendam sendirian," kata gue sok bijak.
"bukan urusan lo."
"heh, lo pikir kalo ada seseorang yg dengan bodohnya nyoba bunuh diri di depan mata lo, itu bukan urusan lo?? huh..mungkin lebih baik kemaren gue biarin lo mati tolol di WC." kata gue dengan sengitnya.
gue sengaja ngomong begitu untuk memancing emosinya. kalau manusia normal, gue yakin dia akan mencak-mencak ke gue. tapi yaah mungkin dia memang nggak normal kali yaa? nggak ada reaksi apapun dari dia. hanya duduk dan terdiam.
"come on guys..mau sampe kapan sih lo bisu gitu? cerita aja apa masalah lo, siapa tau gue bisa bantu."
dan seperti yg sudah terjadi sebelumnya, cewek aneh ini tetap diam dalam bisu nya. rasanya gue mulai nyerah ngajak dia bicara. gue putuskan keluar, menutup pintu lalu duduk di bawah jendela kamar. masih dengan gitar di tangan, gue mulai bernyanyi.
kalo lo pikir ini seperti cerita-cerita di film india, lo salah. karena entah dapet ide darimana, gue bernyanyi dengan suara tinggi melengking dan dengan nada yg sangat mengkhawatirkan. dan hasilnya? nggak butuh satu menit buat Indra membuka pintu kamar dan melempar sandal tepat ke jidat gue tanpa sempat gue menghindar.
"kerasukan jin ifrit lo ye??" serunya.
gue hanya geleng kepala sambil nyengir lebar.
"semprul lo.!" katanya lalu menutup pintu.
dan gue melanjutkan 'ritual' gue. aneh memang saat kita bernyanyi tapi kita sendiri nggak kenal lagu apa yg sedang dinyanyikan. kunci gitar asal-asalan ditambah suara sumbang, lengkap sudah 'penderitaan' mereka yg mendengarnya.
"mau sampe kapan nyanyi kayak gitu??" sebuah suara terdengar di atas kepala gue.
gue menoleh ke asal suara. Meva nampak muncul dari jendela yg kacanya belum sempat gue pasang lagi.
"bukan urusan lo," jawab gue sekenanya.
"lo udah ganggu ketenangan orang lain. lo bilang bukan urusan gue??"
gue berdiri. menaruh gitar di lantai lalu bicara.
"dengan nyanyi seenggaknya gue bisa mencurahkan perasaan gue. itu lebih baik daripada mojok di kamer yg gelap."
"nyindir nih?"
"sorry deh kalo lo ngerasa kesindir."
"kenapa sih lo demen banget bikin orang kesel?"
"enggak papa, gue seneng aja. dengan begitu kan lo jadi mau ngomong sama gue?" gue mengakhirinya dengan sebuah senyum lebar.
Meva diam. gue lihat matanya sembap karena menangis cukup lama.
"ayo keluar. kita ngobrol di luar. di dalem sumpek," gue menarik tangannya.
"eh..eh...gue masih di dalem nih!" protesnya. "sembarangan aja narik-narik orang."
"oh, maaf gue lupa," padahal gue tadi sengaja.
Meva keluar dari kamarnya dan duduk di tembok balkon. entah kenapa kali ini gue merasakannya lagi. perasaan yg enam bulan lalu pernah gue rasakan saat pertama kali gue melihatnya. saat gue mainkan gitar dan dia bernyanyi di tengah malam.
"Ari," gue sodorkan tangan.
"lo udah tau nama gue," katanya tanpa menghiraukan ajakan gue untuk bersalaman.
"ah iya...gue..baru inget," sumpah gue salah tingkah plus kesel. malu juga sebenernya. tapi gue tetep coba jaga image.
"jadi udah berapa lama?" tanya gue.
"apanya yg berapa lama?"
"yaah..udah berapa lama nama lo Mevally?" kedengarannya konyol banget yak !
"pertanyaan yg nggak perlu dijawab," kata Meva.
"mau minum?"
"thanks. nggak usah basa-basi deh."
"so, apa yg bikin lo sering nangis?"
"harus ya..nanya langsung ke intinya? nggak ada basa-basinya banget."
hhhhhh.....beneran kesel gue sama cewek yg satu ini!!
"gue akui, gue bukan orang yg pinter berbasa-basi. tapi gue jago lho ngasih julukan ke orang."
"maksudnya?" Meva kernyitkan dahi.
"sejak pertama ketemu elo, gue udah punya julukan buat lo. lo mau tau? karena belum tau nama lo, gue kasih lo julukan 'wanita berkaos kaki hitam'." hahaha..(tertawa dengan hambar)
"gue sekarang pake perban putih tuh."
gue perhatikan kedua kakinya yg dibalut perban.
"kalo gitu julukannya wanita ber perban putih.?"
dia tersenyum kecil. wouw ini pertama kalinya gue bikin dia tersenyum. keinginan yg sempat hinggap beberapa waktu yg lalu akhirnya kesampean.
"sakit nggah sih kaki lo?" kata gue.
"lo mau nyoba menyayat kaki lo pake pisau cutter? nanti lo tau sendiri gimana rasanya."
gue menggeleng merinding.
"ngebayanginnya aja ngeri gue," komentar gue.
"lo nggak akan pernah tau sesakit apa rasanya sakit itu sebelum lo ngerasainnya sendiri."
"oiya? tapi kita nggak akan begitu sakit kan seandainya kita mau berbagi dengan orang di dekat kita?"
Meva terdiam. sejenak dia ayunkan kedua kakinya. turun dari tembok lalu kembali ke kamarnya meninggalkan gue sendirian.
Rabu, 24 Desember 2014
REBORN Sepasang Kaos Kaki Hitam by pujangga.lama PART.18
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar