Kekecewaaan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan Presiden SBY, nampaknya telah mendorong banyak orang makin sering membandingkannya dengan Jenderal Soeharto.
Misalkan saja timbul pertanyaan SBY seorang doktor di bidang pertanian. Tapi di era SBY, komoditi pertanian justru menjadi tidak stabil dan rakyat menjerit karena harus membeli produk ekspor yang harganya lebih mahal.
Tak hanya itu, SBY menjadi Presiden melalui mandat penuh dari rakyat, melalui dua kali pemilihan langsung (2004 dan 2009). Tapi mandat rakyat itu seakan tak pernah dipergunakan maksimal. Ia seringkali tidak berani membuat keputusan dalam rangka mengakhiri sebuah ketidak pastian. SBY peragu, Soeharto tegas, itu pemahaman yang berkembang saat ini.
SBY, pensiunan jenderal sama dengan Soeharto. Tapi di mata para jenderal, baik yang sudah pensiun maupun yang masih aktif, SBY sepertinya tak pernah mereka perhitungkan.
Kalau boleh bicara seenaknya, salah satu penyebab munculnya kebablasan politik saat ini, antara lain dipicu oleh perpecahan di antara para jenderal. Sebut saja perpecahan antara Jenderal Wiranto dan Prabowo Subianto. Keduanya mengaku sapta margais seperti SBY. Tapi koq tidak bisa bersatu? Dan mengapa SBY membiarkan kedua jenderal itu melanjutkan perseteruan mereka?
SBY sering tampak mendahulukan pencitraan. Bahkan sampai ke soal keluarga. Ia dinilai terlalu banyak janji dan wacana. SBY juga terlalu sering bepergian ke luar negeri. Ia bisa tiba-tiba mengumumkan agenda perjalanan ke sebuah negara yang rasa-rasanya lawatan itu tidak memberikan "nilai tambah" bagi rakyat dan bangsa Indonesia.
Dan konon untuk perjalanan dinas seperti itu, negara wajib memberinya uang saku sebesar US$ 20.000 per hari belum termasuk untuk First Lady.
Dan yang paling keras, perbandingan yang menyimpulkan SBY tidak pantas menjadi pemimpin dari sebuah negara besar seperti Indonesia. Merindukan Soeharto dan "membenci" SBY, jelas sebuah paradoks!
Sebab rakyat juga pernah membenci Soeharto kemudian rakyat Indonesia juga pernah begitu menyanjung SBY. Tetapi rakyat membanding-bandingkan kedua pemimpin itu, karena pada hakekatnya bangsa Indonesia merindukan dan memimpikan sebuah Indonesia Raya yang jaya.
Jadi perbandingan dibuat tidak untuk mencari-cari kesalahan SBY. Juga tidak untuk mendewakan Soeharto yang pernah dijuluki sebagai salah seorang diktator Asia.
Perbandingkan mengemuka karena masih sangat banyak rakyat Indonesia yang optimis bahwa kalau saja Indonesia dipimpin oleh orang yang tepat, Indonesia akan mampu tampil sebagai negara besar yang disegani dunia.
Ada situasi kini yang tak bisa ditutupi ataupun dibantah. Situasi itu menyangkut masalah perut dan keadilan. Rakyat miskin, semakin banyak. Tetapi pemerintahan masih bermain-main dengan bahasa yang defensif.
Padahal dengan menggelontorkan dana triliunan rupiah, lewat program BLSM - dulunya BLT, kepada jutaan rakyat miskin, sikap ini sudah merupakan sebuah pengakuan. Bahwa kemiskinan masih mendera jutaan orang Indonesia.
Rezim SBY memuji-muji diri sendiri bahwa pemerintahannya, cukup berhasil. Yang dijadikan rujukan adalah angka statistik tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih berada pada kisaran 6% per tahun.
Rakyat bicara tentang bola tenis, pemerintah tentang tenis meja. Cara menghitung skornya, tidak sama. Apalagi memainkannya. Rakyat yang terzolimi juga tidak sedikit. Hukum rimba mulai terjadi. Siapa punya uang dialah yang akan keluar sebagai pemenang.
Lihat saja bagaimana seorang narapidana yang dihukum mati karena kasus narkoba, Fredi Budiman. Terpidana masih bisa mengontrol kartel narkoba sekalipun berada di balik jeruji.
Jika pengakuan bekas pacarnya, bahwa setiap bulan terpidana mengeluarkan tidak kurang dari Rp1 miliar hanya untuk menyogok para petugas LP, pengakuan tersebut jelas sangat menyakitkan. Terutama jika didengar oleh rakyat yang menjadi korban salah tangkap atau terpidana pencuri ayam.
Kehidupan masyarakat di era SBY juga sangat sarat dengan praktek korupsi. Korupsi di era Soeharto yang dulunya lebih didominasi oleh pejabat pemerintah, di era SBY sudah merambah ke luar eksekutif, masuk ke jajaran legislatif. Lembaga eksekutif dan legislatif, menjadi sarang koruptor.
Anggota parlemen yang semestinya menjadi pengontrol pemerintah, misalnya jangan sampai mengkorupsi dana pembangunan, kini malah ikut-ikutan kourpsi. Eksekutif dan legislatif seolah bersaing sekaligus bersinerji dalam melakukan korupsi. Bersaing dan bersinerji, tergantung waktu dan jumlah dananya.
Sinerji kedua lembaga itu antara lain tercermin dari kemewahan yang dipertontonkan anggota mereka. Misalnya, manakalah di DPR Senayan, digelar Rapat Kerja antara pemerintah dan komisi di parlemen, halaman parkir gedung rakyat itu, penuh dengan mobil-mobil mewah dan rata-rata baru. Pemiliknya, yaitu para pejabat eksekutif dan legislatif. Saking banyaknya mobil mewah dan baru, pemandangan di gedung DPR, tak ubahnya dengan sebuah "Indonesia Motor Show".
Sinerji lain, mayoritas anggota DPR di Senayan yang berjumlah 560, berasal dari Partai Demokrat, partainya SBY. Demokrat semakin kuat, karena 6 dari 9 fraksi di DPR, berkolaborasi dengan SBY dalam Kabinet Indonesia Bersatu.
Enam fraksi atau partai yang memiliki Menteri di Kabinet SBY adalah Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PPP dan PKB. Para Menteri itu, hampir semuanya, sebelum direkrut menjadi Menteri, juga merupakan anggota DPR. Sehingga para Menteri tersebut juga memiliki jaringan kuat di DPR.
Karena adanya jaringan itu, maka bagi Badan Anggaran DPR dan Kementerian-Kementerian, terbuka lebar kesempatan melakukan kongkalikong dalam penyusunan anggaran. Atau adanya jaringan itu, menciptakan peluang eksekutif dan legislatif bersinerji melakukan korupsi dalam penyusunan APBN, terbuka lebar.
Maka tidak heran jika korupsi yang terjadi di era SBY, modusnya relatif canggih, mengejutkan, serta mengendusnya pun tidak mudah. Pemberantasan korupsi di era SBY, jika sudah terkait dengan dana APBN dan APBD, akan sangat sulit dilakukan. Pasalnya DPR dan Pemerintah akan saling melindungi dan memelihara kenyamanan masing-masing.
Dana yang dikorupsi sejumlah oknum anggota DPR memang tidak terdeteksi. Tetapi jika mengacu pada berbagai berita acara di sidang Tipikor, korupsi di era pemerintahan SBY, seakan dimulai di kilo meter nol. Titik kilometer itu bisa berawal dari Senayan ataupun tempat para anggota kabinet bekerja. Sebab dari sanalah asal muasal dana itu disusun dan dialokasikan.
Penentunya adalah para Menteri anggota Kabinet SBY dan politisi yang berkolaborasi denga rezim SBY. Koruptor di era Soeharto juga terpelihara. Tapi mereka terkesan masih punya "etika" dan rasa malu. Sementara DPR, relatif bersih.
Disebut beretika, sebab mereka tidak pamer kekayaan (hasil korupsi) kepada masyarakat. Mereka mungkin sudah membuka rekening di bank-bank asing, seperti di Singapura. Tapi di dalam negeri mereka berpura-pura hidup sederhana.
Di era SBY, sangat demontstratif. Politisi yang lima tahun lalu, naik turun angkot, tiba-tiba sudah pake Toyota Alphard. Kaya dan korup menjadi status sosial yang prestisius. Mereka bahkan lebih sering diliput media. Dan ketika tampil di kamera TV, mereka bukannya memperlihatkan rasa malu, tetapi justru seperti menantang atau bersandiwara.
Coba dianalisa saja atau tontotan kembali berbagai tayangan TV dari terpidana korupsi Angelina Sondakh. Angelina Sondakh sepertinya menganggap, publik sudah lupa dengan iklannya menjelang Pilpres 2009 yang bertajuk: "Katakan Tidak Pada Korupsi".
Kalau rakyat merindukan Soeharto, itu tidak berarti, rakyat lebih memilih untuk "menderita" dengan cara Soeharto. Melainkan mereka merindukan terwujudnya sebuah NKRI yang makmur, sejahtera dan kehidupan yang damai. Setiap orang bangga menjadi Orang Indonesia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar